Oleh: Wiwit Musaadah
Masih belum seminggu, keramaian di media sosial kembali riuh ketika budaya di pesantren dikritik oleh salah satu media televisi terkenal.
Saya dan teman masih suka berdiskusi di kolom direct message yang ramai dengan pro dan kontra.
Terakhir, teman saya semakin geram dengan isu-isu baru yang muncul dan seolah mem-framing pesantren dari sisi yang tidak utuh. Kami tidak memihak Trans7, tapi sebagai orang NU tulen, kami juga tidak menelan mentah-mentah setiap potongan video yang beredar. Apalagi, ditambah dengan unknowable-nya; saya sebut begitu misalnya saat orang-orang NU mendemo Transmart di Bandung yang notabenenya bukan bagian dari Trans7.
“Menurutmu, apakah ini harus going this far?” tanya teman saya waktu itu. Saya sempat speechless dengan diskusi kita, lalu siang tadi saya mendapat pencerahan dari dosen saya Pak Aktobi Ghazali tentang bagaimana kita memahami perbedaan antara etika dan etiket, serta cara pandang budaya yang berbeda terhadap nilai kesopanan.
Budaya ngesot di depan kiai yang menjadi sorotan itu sebenarnya adalah bagian dari adab santri yang sarat makna. Di mata sebagian orang luar, perilaku itu tampak merendahkan diri secara fisik. Ngesot membuat baju jadi kotor, kaki pegal, lutut panas, bahkan tidak nyaman sama sekali. Tapi di balik rasa pegal itu, ada kesadaran spiritual yang tinggi santri ingin menunjukkan kerendahan hati di hadapan sosok yang mereka anggap pewaris ilmu para nabi.
Media dan masyarakat awam menghigligt hal yang sering kali disalahpahami. Kamera hanya menangkap gerakan tubuh, tanpa merekam niat dan adab di baliknya. Padahal, dalam dunia pesantren, cara santri mendekati kiainya adalah bentuk ekspresi cinta dan penghormatan bukan karena dipaksa, tapi karena tumbuh dari kebiasaan dan keyakinan. Saya juga mendapatakan quotes yang di share sahabat saya saat dia mengutip post Habib Husein Hadar,
Hasan bin Tsabit berdiri ketika Nabi Muhammad datang. Nabi Saw katakan ‘Janganlah berdiri (karena takut) seperti seorang budak pada tuannya.’ Hasan menjawab, ‘Ini berdiri (karena hormat) ketika seorang pecinta didatangi yang dicintainya.’
Di sinilah benturan budaya itu terjadi etiket pesantren yang sopan di mata santri bisa tampak aneh di mata masyarakat luar yang tidak memahami konteksnya.
Sebenarnya, perbedaan persepsi tentang kesopanan selalu ada. Di Barat, berbicara sambil menatap mata lawan bicara dianggap tanda kejujuran dan rasa hormat. Tapi di Indonesia, terutama dalam budaya Timur, menundukkan kepala justru dianggap sopan dan penuh tata krama. Begitu pula di pesantren ngesot dianggap cara paling rendah hati untuk menghormati ilmu, bukan simbol perendahan diri.
Masalahnya, ketika media besar seperti Trans7 menyoroti hal itu tanpa pemahaman kontekstual, yang muncul justru kesalahpahaman publik. Pesantren akhirnya tidak dipandang sebagai ruang pembentukan akhlak dan ilmu, tapi digambarkan sebagai institusi yang terbelakang dan feodalism karena ritualnya dianggap tidak rasional. Padahal, pesantren tidak pernah menuntut semua orang meniru gaya hidup mereka, sama seperti mereka juga tidak pernah memaksa budaya luar untuk mengadopsi adab santri.
Saya melihat satu hal penting etika dan etiket adalah dua hal yang harus kita bedakan. Etika berbicara tentang nilai moral (baik dan buruk yang bersifat universal) dan etiket adalah soal tata krama yang lahir dari kesepakatan sosial. Jadi, apa yang sopan di pesantren belum tentu sopan di ruang redaksi televisi, dan apa yang elegan di layar kaca belum tentu sama di ruang ngaji.
Sebelum mengkritik, kita perlu belajar, tabayun, dan memahami konteks. Tidak semua yang terlihat rendah berarti hina, dan tidak semua yang tampak modern berarti benar. Dalam pesantren, adab lebih tinggi dari ilmu. Tapi dalam dunia media, sensasi kadang lebih tinggi dari pemahaman.
Sebagai orang NU, saya tidak ingin fanatik membela pesantren tanpa berpikir kritis. Tapi saya juga tidak bungkam ketika tradisi luhur dianggap usang hanya karena tidak sesuai dengan standar sopan santun versi televisi. Karena ngesot adalah cara santri menghormati Kiainya.