BeritaNU.net-Tahlilan merupakan salah satu bentuk ibadah dan penghormatan bagi orang yang telah meninggal dalam agama Islam, terutama dalam tradisi Nahdliyin atau Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia.
Tahlilan biasanya dilaksanakan pada beberapa momen setelah seseorang meninggal dunia, seperti pada hari ke-1 hingga ke-7 setelah kematian, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Puncak dari tradisi tahlilan adalah haul, yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal wafatnya si mayit.
Pada praktiknya, biasanya dibacakan surat-surat pendek dari Al-Quran dan doa-doa untuk mendoakan si mayit. Tradisi ini juga diikuti dengan doa untuk keluarga yang ditinggalkan agar diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi kehilangan.
Tradisi tahlilan dalam masyarakat Nahdliyin dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia dan sebagai wujud dukacita bagi keluarga yang ditinggalkan. Meskipun tidak ada konteks teks secara khusus yang menyebutkan tentang tahlilan dalam sumber-sumber teks klasik agama Islam, sebagian kelompok menghubungkannya dengan beberapa hadits yang dianggap relevan secara kontekstual.
Salah satu contoh hadits yang sering dihubungkan dengan praktik tahlilan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Meskipun hadits ini tidak secara eksplisit menyebutkan tentang tahlilan, tetapi ada interpretasi kontekstual yang dikemukakan oleh para ulama untuk mengaitkannya dengan tradisi tahlilan.
“Ahmad di dalam kitab az-Zuhdi, begitu juga Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah meriwayatkan dari Thawus, ia berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang mati difitnah dalam kuburnya selama tujuh hari, dan mereka senang jika dianjurkan sedekah makanan untuk mereka di hari-hari tersebut.’” (Hasyiyah Suyuthi was Sanadi ‘Ala Sunan an-Nasa’i: III/296).
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah menjawab, ‘Ya’. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini merupakan salah satu dari banyak hadits yang merujuk pada anjuran untuk bersedekah atau melakukan amal kebaikan sebagai bentuk pahala dan manfaat yang dapat sampai kepada orang yang telah meninggal. Dalam tradisi Islam, amal kebaikan yang dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dapat menjadi sarana untuk mendatangkan keberkahan dan pahala untuk mereka serta membantu mengurangi beban mereka di akhirat.
Bersedekah atas nama orang yang telah meninggal merupakan praktik yang umum dilakukan oleh banyak umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di kalangan warga Nahdliyin. Ini merupakan bentuk ekspresi cinta, penghormatan, dan mengenang orang yang telah berpulang.
Namun, penting untuk diingat bahwa bersedekah atau melakukan amal kebaikan bukanlah pengganti doa dan istighfar bagi orang yang telah meninggal dunia. Dalam Islam, doa untuk orang yang telah wafat tetap menjadi hal yang sangat dianjurkan, dan doa merupakan sarana yang kuat untuk memohon ampunan dan rahmat Allah bagi orang yang telah meninggal.
Praktik bersedekah atau melakukan amal kebaikan atas nama orang yang telah meninggal dunia merupakan tradisi yang diakui dan dilakukan oleh banyak orang Muslim, termasuk dalam masyarakat Nahdliyin. Namun, dalam melakukan hal ini, tetap penting untuk menjaga niat yang ikhlas dan mengiringi dengan doa dan istighfar bagi almarhum agar mendapatkan keberkahan dan rahmat dari Allah.
Penting untuk diingat bahwa tradisi dan praktik keagamaan sering kali berkembang di masyarakat berdasarkan interpretasi dan pemahaman dari sumber-sumber teks agama, serta pengaruh budaya dan adat istiadat setempat. Oleh karena itu, sebagian praktik keagamaan dapat bervariasi antara kelompok dan komunitas, termasuk dalam hal tahlilan di kalangan warga Nahdliyin.
Sebagai penutur bahasa alami dan masyarakat, hal ini menjadi bagian dari identitas keagamaan dan budaya mereka. Namun, selalu penting untuk menjaga kesadaran akan keragaman interpretasi dan pendekatan keagamaan di antara berbagai kelompok muslim, dan tetap menghormati perbedaan tersebut dengan sikap saling menghargai.
Author: Abdurrohman Mubarok
Editor: Wiwit Musaadah